Saat Tuhan Terasa Jauh, Mungkin Ini Alasannya
Tentang iman, kebebasan, dan makna ketika Tuhan terasa diam — ditulis ringkas, jujur, dan mudah dibaca.
Kita semua pernah merasakan Tuhan seolah jauh. Berdoa terasa kosong, hati penuh tanya. Aku juga pernah ada di sana — dan tulisan ini adalah rekaman perjalanan itu.
Ketika Rasa Diawasi Mengubah Kita
Bayangkan sedang menyetir santai, tiba-tiba terlihat mobil polisi di kaca spion. Langsung saja kita duduk tegak, pegang setir dua tangan, dan jadi lebih berhati-hati — meski sebenarnya tidak melakukan apa-apa.
Kita sering berubah saat merasa diawasi: saat bos lewat, saat guru masuk, atau ketika ketahuan main HP padahal seharusnya fokus. Kita jadi versi "lebih baik" dari diri kita karena takut terlihat buruk.
Tuhan yang Selalu Melihat
Aku dibesarkan dengan gambaran Tuhan yang selalu melihat — segala pikiran dan niat. Dalam bayangan itu, Tuhan seperti polisi langit yang mencatat kesalahan. Aku berusaha taat, rendah hati, takut berbuat salah.
Tetapi lama-lama cara ini melelahkan. Aku tidak belajar mencintai, aku belajar taat karena takut. Lalu aku mulai bertanya: apakah gambaran itu benar-benar gambaran Tuhan?
Hadiah dari Sebuah Jarak
Filsuf John Hick menyebut ide epistemic distance — Tuhan memberi jarak agar kita bisa ragu, memilih, dan tumbuh. Tanpa jarak, kebaikan yang kita pilih bisa jadi hanya karena takut, bukan karena hati.
Jadi Tuhan yang "tersembunyi" bukan cacat; itu adalah bagian dari rencana agar cinta dan kebaikan lahir karena kita memilihnya sendiri.
Ketika Keheningan Terasa Seperti Ditinggalkan
Mudah berkata bahwa jarak itu baik. Tapi saat istriku divonis kanker, keheningan itu terasa menyakitkan. Di malam-malam rumah sakit, aku berdoa panjang, tapi rasanya seperti berbicara pada ruang kosong.
Di situlah gagasan jarak menjadi nyata. Jika memang Tuhan memberi ruang agar kita tumbuh, seringkali pertumbuhan itu muncul di tempat yang tak ingin kita berada.
Keheningan memaksaku memilih: apakah aku tetap percaya walau tak ada tanda? Waktu berlalu, dan aku menemukan bahwa ada iman yang terbentuk — iman yang tidak bergantung pada perasaan, tetapi pada keyakinan bahwa Tuhan tetap ada walau tak terasa.
Belajar Berbuat Baik di Tengah Gelap
Di masa itu, aku sadar: dulu aku beriman karena berharap hasil — kesembuhan, jawaban doa. Ketika itu tak muncul, aku menyaksikan kebaikan lain yang tak berbunyi: perawat yang lembut, teman yang datang hanya untuk duduk, istriku yang masih bersyukur.
Mereka melakukan baik bukan demi pujian, melainkan karena kebaikan sudah menjadi bagian dari mereka. Kebebasan sejati bukan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan untuk tetap memilih baik meski tanpa jaminan.
Iman Tanpa Bukti
Dulu aku kira iman berarti kepastian penuh. Sekarang aku lihat iman lebih seperti sikap: percaya walau tak ada bukti. Iman tidak menutup mata terhadap keraguan — ia berjalan bersamanya.
Jika Tuhan menyingkapkan diri secara nyata dan menghapus semua keraguan, apa artinya iman? Kita tak lagi memilih percaya; kita dipaksa.
Tuhan yang Percaya pada Kita
Tuhan bukan pengawas yang siap menegur. Dia lebih seperti teman yang duduk di kursi sebelah, tenang, memberi ruang, dan percaya kita bisa belajar menyetir sendiri. Jarak itu bukan tanda Dia meninggalkan, melainkan tanda Dia percaya kepada kita.
Jadi bila kamu merasa Tuhan jauh, mungkin bukan karena Dia pergi. Mungkin karena Dia percaya kamu sudah siap berjalan dengan iman — bukan dengan penglihatan.

0 Komentar