Sebagai psikolog perilaku, saya sering melihat orang menetapkan tujuan dan niat baik — tapi gagal menjalankannya. Termasuk dalam hal menabung uang, yang terasa 10 kali lebih sulit dari yang dibayangkan.
Kenapa?
Pertama, kekurangan uang membuat bagian otak kita (frontal cortex) sulit berpikir jernih.
Kedua, otak manusia memang tidak dirancang untuk menabung.
Bahkan orang yang sangat pintar pun sering membuat keputusan keuangan yang buruk.
Masalahnya bukan karena kita bodoh atau kurang informasi. Masalahnya adalah: otak kita masih bekerja seperti di zaman purba, saat manusia harus bertahan hidup di alam liar. Insting yang dulu menyelamatkan kita, sekarang justru mengacaukan kondisi keuangan kita.
Saya sering melihat orang yang paham tentang bunga berbunga (compound interest), tapi tetap gagal menabung secara konsisten. Mereka tahu pengeluaran mereka boros, tapi enggan membuat anggaran. Mereka paham pentingnya berpikir jangka panjang, tapi tidak bisa menahan godaan belanja impulsif.
Tapi ada kabar baik:
Jika kamu mengerti pola pikirmu sendiri, kamu bisa mengatasi hambatan psikologis dan membangun sistem agar bisa menabung dan mengelola uang lebih baik.
Apakah Kamu Sedang Menghindari Mengurus Keuanganmu?
Pernah merasa malas atau takut membuka rekening atau mengecek pengeluaran?
Itu karena adanya "motivated ignorance" — yaitu ketika otak kita sengaja menghindari informasi yang bikin kita merasa buruk tentang diri sendiri, agar tetap merasa "baik-baik saja".
Membuka laporan bank bisa menimbulkan cognitive dissonance — rasa tidak nyaman karena perbedaan antara tujuan keuangan, citra diri, dan kenyataan hidup kita.
Lalu ada efek burung unta (Ostrich Effect): kita seperti burung unta yang menyembunyikan kepala saat terancam. Kita menghindari membuka rekening, laporan kartu kredit, atau menghitung pengeluaran bulan lalu. Makin sedikit kita tahu, makin sedikit rasa sakit yang dirasa. Tapi kenyataannya, justru makin bahaya.
Dan rasa malu dan menyalahkan diri sendiri juga bikin kita tambah malas mencatat pengeluaran. Setiap pembelian terasa seperti bukti kegagalan pribadi.
Padahal sebelum bisa kaya, kita harus jujur dengan kenyataan:
Sebagian besar dari kita nggak tahu uang kita ke mana saja.
Penelitian menunjukkan kita sering meremehkan pengeluaran sebesar 10–15%, terutama pada biaya tak terduga: servis mobil, biaya berobat, atau perjalanan. Ini disebut bias prediksi pengeluaran. Jadi kalau mau akurat, kamu harus siap menghadapi yang tak terduga.
Kenapa Data Keuangan Itu Penting?
Yang menarik, hanya dengan mencatat pengeluaran, perilaku kamu bisa berubah otomatis. Ini disebut efek Hawthorne: orang akan bertindak lebih baik saat tahu mereka sedang diawasi — bahkan kalau yang mengawasi adalah diri sendiri.
Contohnya:
Kalau kamu tahu persis bahwa bulan lalu kamu habiskan Rp2.347.000, kamu akan lebih sadar dan merasa lebih mampu mengontrol diri.
Cara mudah mencatatnya:
-
Buka Excel atau Google Sheets.
-
Buat baris 1–31 (hari dalam sebulan).
-
Buat kolom: Makan, Transportasi, Hiburan, dll.
-
Cek aplikasi bank, catat semua transaksi sesuai tanggal.
Dengan begitu, kamu akan melihat ke mana uang kamu pergi setiap hari dan total bulanan.
Seringkali kecemasan keuangan datang dari rasa tak berdaya. Seolah uang hilang begitu saja. Dengan mencatat, kamu kembali punya kendali.
Mengetahui kamu menghabiskan Rp127 ribu hanya untuk kopi tiap bulan adalah pengetahuan berharga — bukan untuk menyalahkan diri, tapi untuk membuat pilihan yang lebih sadar.
Kenapa Kita Susah Menabung?
Karena otak kita lebih suka imbalan yang langsung, bukan yang ditunda. Ini disebut present bias.
Contoh:
Lihat barang seharga Rp100.000 hari ini = langsung dapat rasa senang.
Menabung Rp100.000 untuk masa depan = tidak dapat imbalan langsung, hanya harapan abstrak "nanti jadi kaya".
Ini masuk akal di masa lalu. Nenek moyang kita harus makan saat menemukan makanan — karena besok belum tentu ada. Tapi sekarang, kebiasaan itu malah membuat kita boros.
Lalu ada hyperbolic discounting — yaitu, lebih memilih uang Rp100 hari ini daripada Rp110 bulan depan. Kita cenderung meremehkan keuntungan di masa depan.
Cara Menabung dengan Psikologi Perilaku
Saya dulu sering bilang:
"Saya harus mulai menabung."
Tapi begitu ada gadget baru atau diajak nongkrong, niat itu hilang.
Solusinya adalah:
1. Gunakan aturan "Jika-Maka" (Implementation Intention)
Bukan lagi: “Saya mau menabung”, tapi:
“Kalau saya gajian, maka langsung transfer Rp500.000 ke tabungan, sebelum membuka saldo.”
2. Buat Rekening Tabungan Terpisah (Mental Accounting)
Buat tujuan yang jelas:
-
Dana darurat
-
Liburan
-
Investasi masa depan
Jadi ketika menabung Rp200.000 ke “dana darurat”, kamu merasa punya tujuan jelas. Itu lebih memuaskan dibanding cuma “nabung biasa”.
Seperti kata Dave Ramsey:
"Setiap rupiah harus punya tujuan."
3. Otomatisasi Tabungan
Atur agar setelah gajian, langsung otomatis:
-
Rp200 ribu ke dana darurat
-
Rp200 ribu ke investasi
-
Rp100 ribu ke liburan
Jadi, sebelum kamu sempat tergoda belanja, uangnya sudah disimpan duluan.
Hasilnya?
Saya bisa menabung lebih banyak dalam 6 bulan dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Bukan karena lebih kuat menahan godaan, tapi karena saya membangun sistem yang melindungi saya dari diri saya sendiri.
Berinvestasi pada Diri Sendiri = Aset Paling Bernilai
Kita rela menghabiskan Rp30 juta buat liburan seminggu, tapi ragu bayar Rp5 juta buat kursus yang bisa naikin penghasilan seumur hidup.
Kenapa? Karena liburan memberi kepuasan instan, sementara kursus butuh waktu dan kerja keras.
Tapi liburan hanya memberi kenangan, sedangkan skill baru bisa kasih penghasilan terus-menerus.
Kebanyakan orang kaya paham ini:
Orang miskin tanya “Harganya berapa?”
Orang kaya tanya “Nilainya seberapa besar?”
Kursus Rp5 juta terasa mahal sampai kamu sadar itu bisa menambah penghasilan Rp10 juta per tahun. Saya selalu balik modal dari investasi ke diri sendiri — setiap kali.
Skill kamu adalah aset yang tidak bisa dicuri, tidak bisa dikenai pajak, dan tidak tergerus inflasi. Skill berkembang lebih cepat daripada saham, karena berdampak pada setiap jam kerja kamu.
Rahasia Orang Kaya: Bukan Hemat, Tapi Belanja Cerdas
Menjadi kaya bukan berarti berhenti belanja, tapi belanja untuk hal yang tepat.
Orang kaya tidak beli barang murahan dua kali, mereka beli barang berkualitas sekali.
Mereka mengeluarkan uang untuk:
-
Alat berkualitas yang hemat waktu dan produktif
-
Jasa profesional untuk menghemat tenaga
-
Sistem otomatis yang membuat kerja mereka lebih efisien
-
Aset yang menghasilkan uang
-
Pengalaman dan hubungan yang membuka peluang
Orang miskin berusaha menabung agar kaya.
Orang kaya membeli kekayaan — dengan membeli aset, bukan kewajiban.
Ubah pertanyaanmu:
Bukan “Bagaimana caranya hemat?”, tapi:
“Bagaimana saya bisa membeli sesuatu yang membantu saya menghasilkan lebih banyak?”
Perbandingan Sosial dan Gaya Hidup Naik Terus
Zaman sekarang, banyak orang punya harapan hidup tinggi karena terpengaruh media sosial.
Kita suka membandingkan diri:
-
Tetangga punya mobil baru
-
Teman kantor jalan-jalan terus
-
Selebgram kelihatan hidup mewah
Akhirnya muncul kecemasan status:
“Apa aku ketinggalan?”
Lalu kita ikut-ikutan: upgrade HP, ganti mobil, liburan terus.
Tapi cepat atau lambat, gaya hidup baru jadi hal biasa. Ini disebut hedonic adaptation.
Solusinya?
-
Unfollow akun-akun media sosial yang bikin kamu minder
-
Cek lagi pengeluaranmu tiap bulan, apakah sesuai dengan nilai hidupmu?
Kadang kita menghabiskan uang bukan karena mau, tapi karena tekanan sosial.
Kita Tidak Diajari Cara Mengelola Uang dengan Baik
Memahami psikologi ini bukan untuk menyalahkan diri sendiri, tapi untuk menyadari bagaimana otak kita bekerja.
Kunci dari psikologi perilaku:
Kekuatan kehendak itu dilebih-lebihkan.
Alih-alih melawan kebiasaan otak, buat sistem yang otomatis bikin keputusan baik lebih mudah, dan keputusan buruk lebih sulit.
Ingat: Kamu Tidak Harus Sempurna, Hanya Perlu Konsisten
Orang kaya bukan yang tidak pernah salah, tapi mereka punya sistem yang membantu mereka membuat keputusan baik lebih sering daripada keputusan buruk.
0 Komentar